Perusahaan petrokimia Amerika Serikat (AS) Air Products and Chemicals Inc. memutuskan beberapa waktu lalu meninggalkan konsorsium di proyek hulu batubara untuk produksi dimethyl ether (DME).
Air Products mungkin telah membentuk konsorsium dengan PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam (PTBA) untuk mengembangkan DME di Muara Enim di Sumatera Selatan.
Proyek Downstream Coal-to-DME merupakan proyek kesayangan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) karena masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) dan proyek ini juga berguna sebagai pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang ada saat ini masih impor.
Triharyo Soesilo, penanggung jawab percepatan pembangunan infrastruktur dan investasi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam, mengatakan ada beberapa alasan kepergian Air Products. Salah satunya DME baru pertama kali hadir di Indonesia. Kemudian peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah baru saja disusun. “Sementara Air Products di Amerika Serikat (AS) banyak menawarkan Joe Biden insentif untuk mendorong transisi investasi energi, jadi mungkin dia tidak bisa menunggu terlalu lama,” jelas Triharyo Soesilo saat berkumpul di Menara Danareksa, Kamis (30/3/2023).
Pada saat yang sama, Triharyo mengumumkan tidak akan ada mitra pengganti PTBA dan Pertamina setelah kepergian Air Products. “Belum, belum ada yang tertarik,” kata Triharjo.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah sedang melakukan pembicaraan penting untuk melanjutkan program batu bara Indonesia. “Saya kira masih ada (pembahasan) teknis yang harus diselesaikan. Nanti kita cek (di bursa),” kata Luhut usai rapat di Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Arya Rizqi Darsono, Ketua Komite Tetap Kadin Minerba, menduga Air Products mundur dari proyek kerjasama gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether dengan PTBA. Pasalnya, proyek ini digadang-gadang sebagai sumber energi alternatif pengganti LPG yang selama ini diimpor.
“Mungkin ada perbedaan perhitungan atau keekonomian proyek ini, karena kita semua tahu harga batu bara sekarang tinggi, lebih dari $150, mungkin masih belum ada angka yang cocok antara PTBA dan Air Products,” ujarnya. Dalam Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Jumat (14 April 2023). Di sisi lain, Arya paham proyek hulu batu bara membutuhkan insentif pajak selain royalti nol persen. Misalnya pembebasan pajak atau adanya pembebasan PPN.
Menurut Arya, teknologi untuk membawa hilirisasi batu bara ke dalam negeri saat ini masih cukup bergantung pada pihak luar. Jadi dia menerima bahwa masalah teknologi ini merupakan tantangan tersendiri.
“Jadi teknologinya mungkin masih mahal. Di sisi lain, kita ingin mengurangi impor LPG satu juta ton per tahun. DME akan menggantikan impor elpiji, tapi saya yakin ekonomi tidak bentrok antara PTBA dan Air Products,” ujarnya.
Aturan harus ditetapkan
Pimpinan Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengaku cukup terkejut dengan keputusan Air Products untuk meninggalkan proyek kerja sama gasifikasi batu bara. Seingat saya, Presiden sendiri sempat mendapat kunjungan dari CEO Air Products beberapa waktu lalu.
Selain itu, proyek gasifikasi batubara juga masuk dalam PSN. Bahkan, sebagai salah satu mitra, pihaknya menyiapkan kawasan ekonomi khusus seluas 585 hektare dan cadangan batu bara selama 20 tahun dengan konsumsi batu bara 6 juta ton per tahun.
“Tentunya ini akan mempengaruhi peta yang sudah digariskan pemerintah untuk penggantian LPG ke depan. Menteri memasukkan ini sebagai energi hijau nasional,” ujar Singgih dalam Closing Bell CNBC Indonesia, Jumat (14/4/2023).
Karena itu, Singgih menilai pemerintah harus mempersiapkan langkah selanjutnya jika Air Products hengkang. Bagaimana memastikan proyek DME pengganti LPG bisa dilanjutkan?
Pada dasarnya, menurut Singgih, proyek gasifikasi batu bara membutuhkan investasi besar. Oleh karena itu, pemerintah cukup adil jika proyek ini diberikan kepada perusahaan besar dengan Perjanjian Izin Usaha Pertambangan (PKP2B) (PKP2B) dikonversi menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). “Pertama pemerintah memerintahkan pajak 0% atas volume dme dan kemudian harga khusus. Tapi apakah itu cukup, itu menarik, karena dalam situasi saat ini, sangat menarik jika harga DME sesuai dengan harga elpiji impor.” Saya kira kita tidak membatasi diri untuk melihat bagaimana tarif batu bara atau perubahan harga berkembang. Kami melihat ini sebagai usaha baru untuk industri kimia, jadi kebijakan pajak dan bukan pajak harus diinvestasikan di dalamnya,” ujarnya. dikatakan.
Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) angkat suara terkait mundurnya Air Products and Chemicals Inc. dari usaha patungan yang meningkatkan batubara menjadi dimetil eter (DME). Bahkan, perusahaan Amerika tersebut mengirimkan hal tersebut kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk surat.
Direktur Pengembangan Bisnis PTBA Rafli Yandra mengatakan, pihaknya akan tetap berkomitmen untuk menyelesaikan proyek gas sesuai arahan pemerintah. Meski konsorsium mundur.
“Jadi proyek Coal to DME sebenarnya sudah ada surat pencabutan dari Air Products, itu belum kita keluarkan, tapi kita sudah diskusikan dengan kementerian terkait dan itu pending, jadi kita akan maju,” ujarnya. . ujarnya dalam jumpa pers, Kamis (3/9/2023).
Lebih lanjut, Rafli mengatakan proyek coal to DME merupakan langkah perseroan untuk memimpin pemerintah di sektor hulu batu bara. Hal ini sebagai bagian dari upaya perseroan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Sumber: